Laman

20101208

Asal muasal Wanar

Sayid Kramat  dengan Raja Jin

Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan. Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka. Mereka menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab yang mengaku masih keturunan Nabi Muhammad. Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan, sedangkan hawa adalah minat hati. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan, sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Pada waktu itu Sayid Kramat  akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sayid Kramat dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sayid Kramat menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha. Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria. Kata Sayid Kramat, “Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.¨ Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sayid Kramat ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sayid Kramat meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis beranjak dewasa sedang menenun. “Hai gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih,” kata sahabat itu.
Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar:¡ “Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Disini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya.”
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sayid Kramat, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sayid Kramat naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan  kawin sebelum menjadi jejaka tua. Terkena ucapan Sayid Kramat, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sayid Kramat melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sayid Kramat suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sayid Kramat. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sayid Kramat. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sayid Kramat. Badannya terasa panas seperti dibakar. Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara. Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka. Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggul Wulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Ketika Prabu Jayabaya muksa (mati bersama raganya hilang) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di Laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.
Semua mahluk halus yang ada di Laut Selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale, sedangkan Kyai Tunggul Wulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Mega Mendung dan dua anaknya, Panji Sekti Diguna dan Panji Sari Laut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sayid Kramat. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan api. Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sayid Kramat. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri. Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon. Menghadang perjalanan Sayyid Kramat yang datang dari utara.
Sebagai orang sakti, Sayid Kramat tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh sayid yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sayid Kramat. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sayid Kramat juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.

Bersambung


1 komentar:

  1. Casino in Dallas, North Dallas, CO
    Find out 과천 출장샵 where to eat, 삼척 출장마사지 play 경상북도 출장안마 & stay at Harrah's Casino 대구광역 출장안마 in Dallas, North Dallas, CO in real-time 인천광역 출장안마 and see activity.

    BalasHapus